Ekstrimitas Kesenian Debus

Ekstrimitas Kesenian Debus


Jika mendengar kata debus, yang ada dan keluar dalam pikiran kita adalah jarum, pedang, darah serta benda-benda tajam lainnya. Atraksi yang lazim mempertontonkan adegan mengerikan ini sering diatribusikan pada satu daerah, Banten. Ya, karena memang baik di televisi maupun pertunjukan-pertunjukan yang bersifat off air, jamak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dari Banten. Lalu, bagaimana sejarah kesenian ini? Kenapa yang ditonjolkan adalah tetesan darah dan benda-benda tajam?

Terdapat salah satu pendapat yang menyatakan bahwa istilah debus berasal dari bahasa Sumedang yang berarti “tembus”. Imron Arifin yang melakukan riset tentang debus pada tahun 1988, berpendapat bahwa nama debus berasal dari bahasa Arab yang bermakna “jarum” atau alat penusuk. Hal ini dikarenakan kesenian ini memperlihatkan keberadaan senjata tajam yang ditusukkan ke pipi, leher, dada dan tangan. Melalui pengertian ini, dapat dipahami bahwa kesenian ini termasuk dalam kategori kesenian yang ekstrim. 

Ekstrimitas kesenian ini menjadi sangat masuk akal, mengingat produk kebudayaan ini ternyata lahir dan berkembang dalam setting social masyarakat yang tengah mengalami cengkraman dan penindasan gerakan imperialisme dan kolonialisme. Untuk itu, perlu sebuah “kekuatan” untuk melawan tindakan yang melanggar batas kemanusiaan itu.

Menariknya, terdapat sebuah pendapat bahwa istilah debus berasal dari Baghdad yang terkait dengan aliran tarekat tertentu, tepatnya adalah tarekat Rifa’iyah, yaitu tarekat yang dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad Rifa’i al-Baghdady. Ajaran tarekat Rifa’iyah serta hubungannya dengan aktivitas dzikir yang ekstrem, dapat dibaca selengkapnya pada link berikut: Rifaiyah. Di Nusantara, disinyalir ajaran tarekat ini  disebarkan pertama kali di kawasan Aceh oleh Syaikh Nuruddin Ar-Raniri di mana tokoh ini memiliki murid Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al-Makassari, atau lebih dikenal dengan Syaikh Yusuf Al-Makasari.

Syaikh Yusuf al-Makassari inilah, -menurut penelusuran Cyril Skinner- yang diduga pertama kali mengajarkan debus di Banten, karena ia bersama-sama dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651—1692 M) melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pada masa Sultan Ageng inilah, debus menjadi sebuah alat untuk memompa semangat juang rakyat Banten dalam melawan penjajah Kolonialisme.

Maka tidak heran jika kesenian debus lebih terkenal di dua daerah, yakni Aceh dan Banten sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Martin Van Bruinessen. Namun, Martin dengan mengutip pendapat Vredenbregt dalam risetnya yang berjudul Dabus in west Java: Bijdragen tot de Taal, Landen Volkenkunde memberikan pembedaan aliran tarekat, jika di Aceh kesenian ini berafilisasi dengan Rifa’yah, maka di kawasan Banten kesenian ini dipengaruhi oleh Tarekat Qodiriyah. Namun belum diketahui, kapan debus sebagai metode dalam tarekat berubah menjadi seni.

Pada zaman revolusi memang tidak sulit melihat fenomena semacam ini. Banyak dari pemuda-pemuda yang siap berperang melawan Belanda mengikuti latihan silat dengan tenaga dalam. Di daerah Sukabumi, Kiai Ahmad Sanusi sangat masyhur sebagai guru kekebalan dan termasuk pendekar silat sambatan, banyak dari pemuda-pemuda yang terlibat perang revolusi kemerdekaan di daerah itu minta dibaiat olehnya.

Kiai Ahmad Sanusi ini, walaupun menurut beberapa pendapat tidak pernah mengajarkan salah satu tarekat tertentu, tetapi ia pernah menulis kitab versi Sunda Manaqib Syaikh Abdulqadir Jailani, sehingga kemungkinan jika ilmu kekebalannya barangkali berkaitan dengan tarekat Qadiriyah. Ia juga dikenal sebagai penerjemah Qur'an dalam bahasa Sunda, Roudlatul Irfan fi Ma’rifah al-Quran, Tamsyiah al-Muslimin dan tafrij Qulub al-Mu’min tafsir surah yasin dan sebagai pendiri Persatuan Umat Islam Indonesia.

Selanjutnya, bahkan pimpinan Darul Islam di Jawa Barat, Kartosuwirjojuga, pernah belajar khusus jurus kekebalan dan silat gaib pada beberapa guru tarekat, antara lain Kiai Yusuf Tauziri dengan keperluan menghadapi penjajah. Di Banten, Kiai Abdurrahim Maja, guru debus yang terkenal, memimpin laskar Sabilillah yang juga konon kebal terhadap senjata apapun.

Fenomena sejarah ini semakin menyadarkan kepada kita, bahwa islam pada masa lalu tak hanya sebatas paham keagamaan, namun juga memiliki energi magis, baik melalui zikir atau riyadlah yang difungsikan untuk melawan kekejaman penjajah. Namun, penulis belum menemukan sejak kapan debus bermetamorfosis menjadi pertunjukan kesenian, bukan sebagai salah satu “jimat” yang sewaktu-waktu dilepas dan hempaskan pada mereka yang berpotensi mengancam jiwa dan negara.


Sumber
https://www.halaqoh.net/2018/10/atraksi-debus-antara-tarekat-perlawanan.html?m=1
https://www.instagram.com/p/Bdz9ZuYhKEi/?igshid=1b6l1ecjmrfpy

0 Response to "Ekstrimitas Kesenian Debus"

Posting Komentar