KESENIAN DEBUS ISLAM NUSANTARA
Banten
tak lepas dengan kesenian debus yang dahulu dijadikan salah satu cara untuk
menyebarkan agama Islam di nusantara. Debus mulai dikenal pada masyarakat
Banten pada abad 16 masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570).
Debus
merupakan alat penyebaran agama Islam pada zaman dulu. Sebab, sebelum dimulai
para pemain melantunan salawat dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
"Dahulu,
debus selain menjadi media untuk penyebaran agama Islam di Banten juga menjadi
sebuah alat untuk memompa semangat juang rakyat banten melawan penjajah Belanda
pada masa Sultan Ageng Tirtayasa," kata Ketua Umum Paku Banten Center
Indonesia Rosyadi MN saat berbincang di kediamannya.
Saat
ini, kata Rosyadi, debus merupakan kesenian bela diri yang mempertunjukan kemampuan
manusia yang luar biasa dan tidak masuk akal seperti kebal senjata tajam, kebal
air keras, makan paku, makan beling dan yang lainnya.
"Sekarang
semakin banyak acara yang memamerkan aksi debus, di acara pemerintahan,
dihadapan para wisawatan sampai pesta pernikahan dipertontonkan debus,"
ujarnya.
Namun,
bagi sebagian masyarakat awam kesenian Debus terlihat sangat ekstrim dan
menakutkan. "Memang kelihatan ekstrim. Tapi kalau sudah tahu cara
memainkannya sama saja dengan bela diri lainnya," kata dia.
Dia
menyebutkan, berbagai atraksi yang biasa dipertunjukan seperti menusuk perut
dengan tombak atau senjata tajam lainnya tanpa terluka, mengiris bagian anggota
tubuh dengan pisau atau golok.
Kemudian,
menusukkan jarum kawat ke lidah, kulit pipi atau anggota tubuh lainnya hingga
tebus tanpa mengeluarkan darah, menyiram tubuh dengan air keras hingga pakaian
yang dikenakan hancur lumat namun kulit tetap utuh.
"Menggoreng
telur di atas kepala, bermain bola api, berguling diserpihan beling, tidur
diatas tajamnya paki hingga menaiki tangga dengan susunan golok tajam,"
ucapnya.
Saat
bermain, sholawat dan musik tradisional akan terus dilantunkan hingga
berakhirnya atraksi oleh para pengiring.
Dia
menegaskan, kesenian debus tidak ada kaitannya sama sekali dengan ilmu sihir
atau magis yang sudah jelas dilarang oleh ajaran agama islam. Hanya saja
keahlian dari para pemainnya.
Dalam
konteks Islam di Nusantara, salah satu bentuk ilmu hikmat adalah tradisi debus,
yaitu warisan budaya keagamaan khas Banten yang resmi dijadikan identitas pada
zaman Sultan Ageng Tirtayasa (Banten).
Debus
bisa diterapkan melalui sarana latihan fisik dan rohani. Tradisi debus diambil
dari Tarikat al-Rifa'iyah , sehingga debus dikenal pula dengan sebutan Rifa’i,
atau al-Madad (dalam permainan disebut kata al-Madad/ penolong).
Debus
merupakan permainan yang mengandalkan kekebalan tubuh dari benda tajam dan
panas api. Hal itu tentunya tidak bisa dilepaskan dari praktek-praktek magisme
yang dilakukan oleh para pelakunya.
Praktek
magise dalam permainan debus merupakan campuran eklektik dari agama Islam,
khususnya dari tradisi tarekat, dan dari tradisi yang telah berkembang di
masyarakat pra-Islam di Banten. Kekebalan dan kesaktian sejak masa pra-Islam
memang dipentingkan dan dicari orang banyak di Nusantara.
Bentuk kesenian debus tercermin dari kegiatan masyarakat sehari-hari, yang
didasari atas ucapan dan doa yang dipanjatkan kepada Tuhan YME agar selalu
diberikan pertolongan, perlindungan, serta keselamatan didalam menjalani
kehidupan.
Debus
di sini dijadikan sebagai simbol masyarakat Banten yang pada intinya dalam
setiap tindakan yang kita jalani harus selalu berdoa kepada Tuhan YME agar
dalam setiap langkah mendapat keberkahan dan dijauhkan dari perbuatan yang
tidak baik.
Seiring
dengan perkembangan zaman, kesenian debus saat ini sudah mengalami akulturasi
dengan tradisi lokal lainnya yang ada di Banten dan unsur-unsur lokal dari
Pra-Islam. Sehingga dengan proses akulturasi tersebut, maka terkadang sulit
untuk membedakan secara tegas antara ritual tarekat di satu sisi dan ritual
debus hasil adopsi tradisi lokal di sisi lain.
Dengan
mengalami akulturasi, kesenian debus dengan tradisi lokal bahkan teknologi
modern, maka secara tanpa disengaja, kesenian ini pun mengalami penyusutan
kemurniannya, atau dengan kata lain, debus sudah mengalami pergeseran.
Namun,
adaptasi Islam dengan budaya lokal yang terdapat pada debus tersebut sebagai
sesuatu yang tak terhindarkan agar Islam diterima mayoritas penduduk lokal,
namun adaptasi tersebut sering menimbulkan ketegangan-ketegangan antara
keharusan untuk mempertahankan ontentisitas Islam dengan kebutuhan-kebutuhan
praktis dan populer yang telah dianut secara luas oleh masyarakat lokal di
Indonesia. Khususnya tanpa menghilangkan beberapa pengecualian tentang proses
penyebaran Islam di Indonesia, namun secara umum proses Islamisasi di Indonsia
berlangsung secara damai.
Karena
itu, masyarakat Indonesia merupakan satu dari sedikit wilayah di dunia yang mengalami
proses Islamisasi penduduknya tanpa kekuatan militer. Islam menyebar ke
sejumlah wilayah di Nusantara melalui jalur perdagangan dan jaringan tarekat
yang sangat akomodatif terhadap budaya-budaya lokal. Para penyebar
sufi-pedagang mempergunakan simbol-simbol budaya dan pranata sosial lokal yang
telah ada untuk menghadirkan Islam di tengah kehidupan masyarakat Nusantara.
Dalam
legenda para wali sering diceritakan bahwa kemenangan Islam sering dihubungkan
dengan keunggulan zikir dan wirid para wali Islam atas jampi atau mantra
Hindu-Budha atau animisme. Karena itu banyak orang yang berasumsi bahwa
pesatnya perkembangan Islam pada masa-masa awal di Nusantara melalui jalur
tarekat, karena ajarannya yang dekat dengan budaya masyarakat Nusantara.
Banyak
orang yang masuk tarekat bukan karena untuk meningkatkan kesadaran spiritual
mereka dengan mensucikan jiwanya, tetapi mereka mengharapkan mendapat “ilmu”
yang kuat, yakni kesaktian dan kedigjayaan. Selama ini memang ada beberapa
tarekat yang dikenal secara luas oleh masyarakat seperti: Qodiriyah, Rifaiyah
dan Sammaniyah, yang mengajarkan amalan atau wirid tertentu untuk
praktek-praktek kekebalan tubuh dari benda tajam dan api kepada para
muridnya.
Seni
tradisional debus dilakukan melalui berbagai macam atraksi, seperti memecahkan
buah kelapa dengan cara dibenturkan ke kepala sendiri, menggoreng telur dan
kerupuk di atas kepala, menyayat tubuh dengan senjata tajam, hingga membakar
tubuh dengan minyak tanah. Selain itu, kesenian debus dikenal sebagai tradisi
yang mengandung unsur mistis dan syarat dengan ajaran spiritual agama.
Hal
itu tercermin pada saat sebelum permainan dilakukan, terlebih dahulu dimulai
dengan berbagai ritual atau doa, dengan maksud meminta perlindungan dan
keselamatan kepada Allāh SWT.
Dalam
sejarahnya, tradisi debus tidak bisa dipisahkan dengan ilmu tarekat yang
berkembang di Banten, karena tradisi ini ditengarai bersumber dari ajaran
beberapa tarekat. Sultan Hasanudin sebagai orang yang pertama kali
memperkenalkan kesenian ini adalah penganut ajaran Tarikat al-Rifa'iyah
sebagaimana juga dianut oleh mayoritas para penyebar agama Islam di Banten.
Keeratan
debus dengan tarekat bisa dilihat pada saat akan dimulainya pertunjukan, selalu
dimulai dengan membaca shalawat Nabi, doa-doa, dzikir, serta diikuti ritual
tertentu yang hampir serupa dengan tradisi tarekat-tarekat yang berkembang di
Banten. Diajarkannya wiridan (baca: zikir) yang berasal dari tarekat tertentu
dimaksudkan untuk memudahkan hati murid-murid untuk mendapatkan hidayah dari
Allāh SWT.
Melalui
zikir itu, murid-murid diharapkan bisa sampai kepada tingkatan manusia yang
bertaqwa. Apabila seorang murid mampu mengamalkan zikir itu secara istiqamah,
dan ia dianggap telah menjadi orang yang bertaqwa, maka murid itu akan
memperoleh keajaiban-keajaiban yang secara logika bisa dianggap irrasional,
namun secara empirik mengandung fakta yang valid. Apa yang diperoleh oleh
seorang murid tersebut dalam istilah tasawuf dikenal dengan karamah.
Dalam
perkembangannya, debus sebagai suatu kesenian tradisional khas Banten menjadi
tradisi kesenian keagamaan yang begitu pesat, dan banyak dimainkan oleh
masyarakat Banten, bahkan hingga mutakhir ini. Di samping itu, tradisi debus
dikenal tidak hanya di provinsi Banten semata, melainkan juga dikenal di banyak
daerah di Indonesia.
Dalam
sejarah penyebaran Islam di Nusantara, kesenian debus digunakan sebagai media
penyebaran Islam di kalangan masyarakat Nusantara. Konon, kesenian ini masih
ada hubungannya dengan Tarikat al-Rifa'iyah yang dibawa oleh Nuruddin Ar-Raniry
ke Aceh pada abad ke 16. Artinya, debus tidak bisa dipisahkan dengan tarekat
dan fakta itu juga menunjukkan bahwa debus syarat dengan ajaran-ajaran mistis
agama.
Kita
tahu, Islam datang dan menyebar di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ajaran
mistik, yakni Islam Sufi (tasawuf/tarikat). Di samping itu, Islam juga
diwarnai oleh berbagai aliran, baik dalam bidang aqidah ataupun fiqhiyah.
Pengaruh aliran itu sampai sekarang pun masih sangat kental, terutama di
Banten.
Corak
Islam Nusantara itu tak lepas dari pengaruh intelektual muslim nusantara yang
belajar ke Tanah Arab. Sekalipun pada saat itu pengawasan kolonial begitu
ketat, namun tidak sedikit ulama-ulama Indonesia, termasuk ulama Banten yang
menempuh pendidikan di Tanah Arab. Seperti halnya Syekh Muhammad Nawawi bin
Umar Tanara, putra asli Banten yang belajar dan mengajar di kota suci,
Makkah.
Pemikiran
Islam khas Nusantara, khususnya di Banten saat itu berkiblat kepada pemikiran
Ki Nawawi (sebutan akrab Syekh Muhammad Nawawi), baik pemikiran tafsir, fikih,
maupun tasawuf. Karena dianggap sebagai ulama intelektual yang memiliki
keluasan dan kedalam ilmu agama, Syekh Nawawi memperoleh gelar Al-'Allamah
(Orang yang sangat mendalam pengetahuannya tentang agama).
Kitab-kitab
yang telah ditulis dan diterbitkan Syekh Nawawi kurang lebih sekitar 150 kitab
yang berisi pokok-pokok pikirannya dalam berbagai disiplin ilmu. Ketika Syekh
Nawawi berkunjung ke Mesir, ia memperoleh gelar Sayyid 'Ulama al-Hijaz
(tokoh/penghulu ulama Hijaz) yang diberikan langsung oleh ulama-ulama Mesir.
Meskipun Ki Nawawi telah meninggal dunia, setiap tahun pada tanggal 25 Syawal,
kewafatannya selalu diperingati oleh keluarga dan masyarakat Banten di tempat
kelahirannya, Tanara.
Selain
Kiai Nawawi, ulama Banten yang juga memiliki keluasan intelektual adalah Kiai
Abdul-Karim (Paman Kiai Nawawi), yang dikenal sebagai ulama yang mengembangkan
tarikat Qadiriyah - Naqsyabandiyah di Banten. Ia telah melahirkan banyak
murid-murid yang bertebaran di Banten, dan tidak sedikit para muridnya menjadi
ahli tarikat yang mengembangkan ilmu hikmat melalui tradisi debus.
Pengaruh
tarekat juga merambah dalam dunia politik, di mana ketika meletus perang
Cilegon pada tahun 1888, yang pelopori oleh K.H.Wasyid dkk, semangat perang itu
dijiwai oleh ajaran tarikat yang dikembangkan oleh Kiai Abdul-Karim . Hanya
bermodal parang dan golok yang diberi sugesti melalui amalan-amalan, serta
wirid oleh ahli tarikat yang mengembangkan ilmu hikmah, mereka mampu melawan
Belanda yang pada saat itu sudah mempunyai peralatan modern yang canggih
seperti tank, bedil dan mesin. Meskipun demikian, perlawan Kiai Wasyid mampu
dipukul mundur oleh kompeni.
Dalam
kesenian debus saat ini banyak sekali pergeseran, tidak hanya terjadi pada
pergeseran dari segi ritual, pertunjukan atau perekrutan saja, pergeseran itu
juga terjadi pada segi tujuan permainan debus. Pergeseran ini adalah sebuah
kelanjutan dari adanya pergeseran-pergeseran debus di atas.
Kesenian
debus saat ini sudah mengalami pergeseran dari segi tujuannya dengan debus
tempo dulu. Sekarang, meskipun padepokan debus tumbuh menjamur di mana-mana—
baik itu di sekitar Banten sendiri maupun luar Banten—akan tetapi semuanya
lebih menekankan pada orientasi hiburan daripada tarekat murni Hubungan antara
tarekat dan debus saat ini sudah renggang bahkan bisa dikatakan cerai atau
terputus karena debus sudah beralih orientasi menjadi hiburan yang mendatangkan
uang dan aset pariwisata yang layak jual.
Bahkan
sungguh ironi, ketika penelitian lapangan dan tulisan ini hadir, banyak di
antara para guru debus atau para pemain debus yang tidak mengetahui atau paham
kalau sebenarnya kesenian yang mereka pelajari selama ini berasal dari tarekat.
Pengirim: Syarifaeni
Fahdiah, M Hum, Ketua Umum Forum Silaturahmi Alumni Madrasah
Masyariqul Anwar (FORSAMMA) dan Pengurus KOHATI PB HMI 2018-2020
0 Response to "Kesenian Debus Islam Nusantara"
Posting Komentar