SEJARAH
TRADISI DEBUS
Sejarah Kesenian Debus
Menurut catatan sejarah, Debus itu sendiri
sebenarnya ada hubungannya dengan tarikat Rifaiah. Tarikat ini dibawa oleh
Nurrudin Ar-raniry ke Aceh pada abad 16. Tarikat ini ketika melakukan ketika
sedang dalam kondisi epiphany (kegembiraan yang tak terhingga karena “bertatap
muka” dengan Tuhan), mereka kerap menghantamkam berbagai benda tajam ke tubuh
mereka. Filosofi sederhana yang saya tangkap adalah “lau haula walla Quwata
ilabillahil ‘aliyyil adhim” atau tiada daya upaya melainkan karena Allah
semata. Jadi kalau Allah tidak mengijinkan pisau, golok, parang atau peluru
sekalipun melukai mereka, maka mereka tak akan terluka.Pada kelanjutannya,
tarikat ini sampai ke daerah Minang dan di Minang pun dikenal istilah Dabuih.
Kesenian Debus Sebagai Potensi Wisata
Jadi, mengapa tidak melestarikan dan mengembangkan
kesenian debus, yang juga merupakan ciri khas kebudayaan Banten? Terlebih,
Djoko Munandar, gubernur Banten terpilih, semakin gencar mempromosikan sektor
pariwisata daerahnya sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diunggulkan.
Dengan demikian, kekayaan pariwisata tidak hanya terpusat di Bali dan Lombok
saja, namun juga di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Hal ini untuk
menunjukkan kepada masyarakat luas, bahwa tidak hanya agama Hindu atau Budha
saja yang berperan dalam perkembangan dan akulturasi kebudayaan daerah di
Indonesia, melainkan juga agama Islam. Hal inilah yang telah dirintis oleh Abah
Barce dalam pengenalan kesenian debus hingga ke mancanegara.
BANYAK orang merasa ngeri ketika menyaksikan
pertunjukkan debus. Bayangkan, di tengah arena, publik penonton disuguhi
permainan yang tak gampang dijumpai di sembarang tempat. Golok tajam
berkelebatan ibarat dalam film silat. Bara api dan senjata tajam lainnya jadi
mainan tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun pada para pemainnya.
Di balik seni pertunjukan yang mengerikan itu, Haji
Moch Idris (92), orang yang selama ini menjadi syeh pertunjukkan debus,
memperhatikan anak buahnya dengan saksama. Tubuhnya memang kecil, tetapi
kemampuannya dalam memimpin debus tidak perlu diragukan lagi. Dialah orang di
belakang layar yang membuat para pemain kebal terhadap api dan senjata tajam
apa pun dan memiliki rasa percaya diri tinggi. Di bawah pimpinannya pula, debus
Yayasan Debus Banten “Sorosohan” itu melanglang buana, sehingga debus tidak
hanya dikenal di daerah asalnya. Grup debus yang dipimpinnya sudah tampil di
beberapa daerah di Indonesia. Bahkan daerah-daerah yang dikunjungi bukan hanya
sebatas di Tanah Air. Tetapi seni pertunjukkan ini sudah digelar di Jepang,
Thailand dan Malaysia.
* DEBUS adalah kesenian khas Banten yang ditampilkan
di arena terbuka. Kesenian itu sekaligus mencerminkan sikap dan perilaku
masyarakatnya yang keras namun agamis. Lihat saja ketika atraksi pertunjukan
mencapai puncaknya. Para pemain dengan tanpa ragu mengiris lidah atau
pergelangan tangannya dengan golok tajam dan mengkilap, tanpa gentar sedikit
pun. Mereka bahkan memakan api yang berkobar dan kemudian menggunakan kepalanya
untuk menggoreng, tanpa memperlihatkan rasa panas sedikit pun.Masih belum
cukup, penonton yang terpana dan dibayangi rasa ngeri itu kemudian disuguhi
atraksi paling khas, tatkala dua pemain bertelanjang dada tampil di tengah
arena. Seorang di antaranya memegang almadad, yakni sejenis alat yang terbuat
dari besi berdiameter sekitar 12 mm dan panjangnya sekitar 45-50 cm. Ujung yang
satu sengaja dibuat tajam sehingga menyerupai jarum besar. Sementara ujung
lainnya dimasukkan ke dalam gagang kayu bergaris tengah sekitar 15 cm dan tebal
10 cm. Dengan sikap seolah-olah menantang, ujung almadad yang tajam ditempelkan
ke perut. Sementara pemain lainnya mengayunkan gada memukul gagang almadad.
Alat pemukul tersebut terbuat dari kayu dengan garis tengah sekitar 15 cm dan tebal
10 cm. Di bagian tengah dipasang gagang. Namun sekeras apa pun pukulannya,
ternyata tidak membuat ujung besi almadad menembus perut pemain tersebut,
walaupun gada dihantamkan beberapa kali. Bahkan kulit perut di mana ujung
almadad ditempelkan, tidak sedikit pun meninggalkan luka. Padahal dalam keadaan
normal, besi almadad yang menyerupai jarum besar itu bisa dengan mudah menembus
perut sampai belakang tubuh seseorang.
*** IDRIS mengakui, dalam debus, penonton bukan
hanya disuguhi perpaduan antara seni dan keterampilan, dalam hal ini
keterampilan seni bela diri. Tetapi debus yang berasal dari kata “dzikir,
bathin dan salawat” itu merupakan seni yang erat kaitannya dengan pengolahan
batin dan keislaman. Seni debus mengandung unsur-unsur dakwah sebagaimana awal
kesenian tersebut didirikan pada masa Sultan Maulanan Hasanudin dan Sultan
Banten berikutnya.Pada masa itu, menurut Idris, seni debus dimainkan oleh dua
pemain secara bergantian. Sementara pemain lainnya duduk sambil membaca
salawatan dan dzikiran seraya diiringi musik terbang besar dan kendang.
Banten adalah kesultanan yang tak gampang tunduk
pada kompeni. Berbagai perlawanan yang dipimpin Sultan Banten terhadap penjajah
telah mengakibatkan penindasan Belanda yang tak habis-habisnya terhadap rakyat
Banten. Setelah masa Kesultanan Sultan Agung Tirtayasa berakhir, Belanda
menguasai Banten. Selain memberlakukan kerja paksa dan menaikkan pajak-pajak,
Belanda melarang pertunjukan seni debus. Setelah lebih daripada satu abad
terpendam, salah satu alat seni debus yang disebut almadad akhirnya ditemukan
Moch Idris ketika bertugas piket di rumah kediaman Residen Banten yang terletak
di Banten Lama pada tahun 1949. Ketika itu tidak seorang pun tahu akan nama dan
kegunaan barang tersebut. Menurut Idris, seni debus barulah dikembangkan
setelah tentara Belanda meninggalkan Indonesia pada tahun 1949. Setelah tahun
1950-an ia mulai melatih calon pemain. “Anggotanya terus bertambah, sampai 20
orang,” katanya. Tahun 1957, untuk pertama kalinya ia tampil di Lapang Tegallega,
Bandung. *** LAHIR di Desa Tinggar, Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang, Jawa
Barat pada tahun 1907, ayah sembilan anak dan kakek lebih dari 43 cucu itu kini
tinggal di Desa Tegalsari, Kecamatan Walantaka. Masa mudanya dihabiskan bersama
para pejuang lainnya yang tergabung dalam laskar rakyat untuk melawan Belanda.
Bersama para pejuang lainnya ia tergabung dalam Sektor Lodaya.Tahun tanggal 12
Juli 1955, ia terpilih sebagai Kepala Desa Cigoong, Kecamatan Walantaka, di
samping memimpin kesekian debus.”Kalau di desa saya jadi kepala desa, tetapi
kalau sedang ngamen, saya jadi pemain,” ia mengenang masa mudanya sambil
tertawa lebar. Setelah 31 tahun mengabdi, Idris kemudian mengundurkan
diri.”Saya harus memberi kesempatan kepada generasi muda,” katanya. Satu-satunya
kegiatannya kini mendidik dan membina generasi muda untuk mencintai dan menjaga
kelestarian seni debus sebagai warisan nenek moyang yang mengandung nilai-nilai
luhur. Sebagai kesenian rakyat, seni debus bisa ditampilkan di sembarang tempat
dan dalam waktu yang tidak ditentukan. Bisa di panggung atau di halaman
terbuka, atau bahkan di hotel mewah sekalipun. Alat utama kesenian ini selain
terdiri dari almadad dan gada, dilengkapi dengan beberapa waditra (instrumen)
pengiring, seperti terbang besar, kecrek yang terbuat dari lempengan logam, dua
buah gendang, dan saron. Para pemain debus bukan sembarang orang. Idris
menyebut syarat utama harus beragama Islam dan menjalani puasa selama 40 hari.
“Tidur tidak boleh terlentang karena khawatir menelan ludah dan membatalkan
puasa,” ujarnya.Selama menjalankan puasa, ia harus membaca amalan yang diambil
dari ayat Al Quran. Menurut dia, debus juga merupakan tarekat Qadariyah. Untuk
tidak membosankan penonton, Idris kemudian menambah beberapa atraksi lainnya.
Misalnya silat debus, main golok, makan beling (pecahan kaca), nersisir dengan
api, menggoreng di atas kepala, memotong tangan dan lidah sampai berdarah,
berguling di atas kawat berduri. Atraksi lain adalah mengupas kelapa dengan
cara digigit, makan bara api, dan tusuk jarum. ( SUMBER Penulis : Her Suganda)
Sejarah Kesenian Debus
Menurut catatan sejarah, Debus itu sendiri
sebenarnya ada hubungannya dengan tarikat Rifaiah. Tarikat ini dibawa oleh
Nurrudin Ar-raniry ke Aceh pada abad 16. Tarikat ini ketika melakukan ketika
sedang dalam kondisi epiphany (kegembiraan yang tak terhingga karena “bertatap
muka” dengan Tuhan), mereka kerap menghantamkam berbagai benda tajam ke tubuh
mereka. Filosofi sederhana yang saya tangkap adalah “lau haula walla Quwata
ilabillahil ‘aliyyil adhim” atau tiada daya upaya melainkan karena Allah
semata. Jadi kalau Allah tidak mengijinkan pisau, golok, parang atau peluru
sekalipun melukai mereka, maka mereka tak akan terluka.Pada kelanjutannya,
tarikat ini sampai ke daerah Minang dan di Minang pun dikenal istilah Dabuih.
Kesenian Debus Sebagai Potensi Wisata
Jadi, mengapa tidak melestarikan dan mengembangkan
kesenian debus, yang juga merupakan ciri khas kebudayaan Banten? Terlebih,
Djoko Munandar, gubernur Banten terpilih, semakin gencar mempromosikan sektor
pariwisata daerahnya sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diunggulkan.
Dengan demikian, kekayaan pariwisata tidak hanya terpusat di Bali dan Lombok
saja, namun juga di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Hal ini untuk
menunjukkan kepada masyarakat luas, bahwa tidak hanya agama Hindu atau Budha
saja yang berperan dalam perkembangan dan akulturasi kebudayaan daerah di
Indonesia, melainkan juga agama Islam. Hal inilah yang telah dirintis oleh Abah
Barce dalam pengenalan kesenian debus hingga ke mancanegara.
BANYAK orang merasa ngeri ketika menyaksikan
pertunjukkan debus. Bayangkan, di tengah arena, publik penonton disuguhi
permainan yang tak gampang dijumpai di sembarang tempat. Golok tajam
berkelebatan ibarat dalam film silat. Bara api dan senjata tajam lainnya jadi
mainan tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun pada para pemainnya.
Di balik seni pertunjukan yang mengerikan itu, Haji
Moch Idris (92), orang yang selama ini menjadi syeh pertunjukkan debus,
memperhatikan anak buahnya dengan saksama. Tubuhnya memang kecil, tetapi
kemampuannya dalam memimpin debus tidak perlu diragukan lagi. Dialah orang di
belakang layar yang membuat para pemain kebal terhadap api dan senjata tajam
apa pun dan memiliki rasa percaya diri tinggi. Di bawah pimpinannya pula, debus
Yayasan Debus Banten “Sorosohan” itu melanglang buana, sehingga debus tidak
hanya dikenal di daerah asalnya. Grup debus yang dipimpinnya sudah tampil di
beberapa daerah di Indonesia. Bahkan daerah-daerah yang dikunjungi bukan hanya
sebatas di Tanah Air. Tetapi seni pertunjukkan ini sudah digelar di Jepang,
Thailand dan Malaysia.
* DEBUS adalah kesenian khas Banten yang ditampilkan
di arena terbuka. Kesenian itu sekaligus mencerminkan sikap dan perilaku
masyarakatnya yang keras namun agamis. Lihat saja ketika atraksi pertunjukan
mencapai puncaknya. Para pemain dengan tanpa ragu mengiris lidah atau
pergelangan tangannya dengan golok tajam dan mengkilap, tanpa gentar sedikit
pun. Mereka bahkan memakan api yang berkobar dan kemudian menggunakan kepalanya
untuk menggoreng, tanpa memperlihatkan rasa panas sedikit pun.Masih belum
cukup, penonton yang terpana dan dibayangi rasa ngeri itu kemudian disuguhi
atraksi paling khas, tatkala dua pemain bertelanjang dada tampil di tengah
arena. Seorang di antaranya memegang almadad, yakni sejenis alat yang terbuat
dari besi berdiameter sekitar 12 mm dan panjangnya sekitar 45-50 cm. Ujung yang
satu sengaja dibuat tajam sehingga menyerupai jarum besar. Sementara ujung
lainnya dimasukkan ke dalam gagang kayu bergaris tengah sekitar 15 cm dan tebal
10 cm. Dengan sikap seolah-olah menantang, ujung almadad yang tajam ditempelkan
ke perut. Sementara pemain lainnya mengayunkan gada memukul gagang almadad.
Alat pemukul tersebut terbuat dari kayu dengan garis tengah sekitar 15 cm dan tebal
10 cm. Di bagian tengah dipasang gagang. Namun sekeras apa pun pukulannya,
ternyata tidak membuat ujung besi almadad menembus perut pemain tersebut,
walaupun gada dihantamkan beberapa kali. Bahkan kulit perut di mana ujung
almadad ditempelkan, tidak sedikit pun meninggalkan luka. Padahal dalam keadaan
normal, besi almadad yang menyerupai jarum besar itu bisa dengan mudah menembus
perut sampai belakang tubuh seseorang.
*** IDRIS mengakui, dalam debus, penonton bukan
hanya disuguhi perpaduan antara seni dan keterampilan, dalam hal ini
keterampilan seni bela diri. Tetapi debus yang berasal dari kata “dzikir,
bathin dan salawat” itu merupakan seni yang erat kaitannya dengan pengolahan
batin dan keislaman. Seni debus mengandung unsur-unsur dakwah sebagaimana awal
kesenian tersebut didirikan pada masa Sultan Maulanan Hasanudin dan Sultan
Banten berikutnya.Pada masa itu, menurut Idris, seni debus dimainkan oleh dua
pemain secara bergantian. Sementara pemain lainnya duduk sambil membaca
salawatan dan dzikiran seraya diiringi musik terbang besar dan kendang.
Banten adalah kesultanan yang tak gampang tunduk
pada kompeni. Berbagai perlawanan yang dipimpin Sultan Banten terhadap penjajah
telah mengakibatkan penindasan Belanda yang tak habis-habisnya terhadap rakyat
Banten. Setelah masa Kesultanan Sultan Agung Tirtayasa berakhir, Belanda
menguasai Banten. Selain memberlakukan kerja paksa dan menaikkan pajak-pajak,
Belanda melarang pertunjukan seni debus. Setelah lebih daripada satu abad
terpendam, salah satu alat seni debus yang disebut almadad akhirnya ditemukan
Moch Idris ketika bertugas piket di rumah kediaman Residen Banten yang terletak
di Banten Lama pada tahun 1949. Ketika itu tidak seorang pun tahu akan nama dan
kegunaan barang tersebut. Menurut Idris, seni debus barulah dikembangkan
setelah tentara Belanda meninggalkan Indonesia pada tahun 1949. Setelah tahun
1950-an ia mulai melatih calon pemain. “Anggotanya terus bertambah, sampai 20
orang,” katanya. Tahun 1957, untuk pertama kalinya ia tampil di Lapang Tegallega,
Bandung. *** LAHIR di Desa Tinggar, Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang, Jawa
Barat pada tahun 1907, ayah sembilan anak dan kakek lebih dari 43 cucu itu kini
tinggal di Desa Tegalsari, Kecamatan Walantaka. Masa mudanya dihabiskan bersama
para pejuang lainnya yang tergabung dalam laskar rakyat untuk melawan Belanda.
Bersama para pejuang lainnya ia tergabung dalam Sektor Lodaya.Tahun tanggal 12
Juli 1955, ia terpilih sebagai Kepala Desa Cigoong, Kecamatan Walantaka, di
samping memimpin kesekian debus.”Kalau di desa saya jadi kepala desa, tetapi
kalau sedang ngamen, saya jadi pemain,” ia mengenang masa mudanya sambil
tertawa lebar. Setelah 31 tahun mengabdi, Idris kemudian mengundurkan
diri.”Saya harus memberi kesempatan kepada generasi muda,” katanya. Satu-satunya
kegiatannya kini mendidik dan membina generasi muda untuk mencintai dan menjaga
kelestarian seni debus sebagai warisan nenek moyang yang mengandung nilai-nilai
luhur. Sebagai kesenian rakyat, seni debus bisa ditampilkan di sembarang tempat
dan dalam waktu yang tidak ditentukan. Bisa di panggung atau di halaman
terbuka, atau bahkan di hotel mewah sekalipun. Alat utama kesenian ini selain
terdiri dari almadad dan gada, dilengkapi dengan beberapa waditra (instrumen)
pengiring, seperti terbang besar, kecrek yang terbuat dari lempengan logam, dua
buah gendang, dan saron. Para pemain debus bukan sembarang orang. Idris
menyebut syarat utama harus beragama Islam dan menjalani puasa selama 40 hari.
“Tidur tidak boleh terlentang karena khawatir menelan ludah dan membatalkan
puasa,” ujarnya.Selama menjalankan puasa, ia harus membaca amalan yang diambil
dari ayat Al Quran. Menurut dia, debus juga merupakan tarekat Qadariyah. Untuk
tidak membosankan penonton, Idris kemudian menambah beberapa atraksi lainnya.
Misalnya silat debus, main golok, makan beling (pecahan kaca), nersisir dengan
api, menggoreng di atas kepala, memotong tangan dan lidah sampai berdarah,
berguling di atas kawat berduri. Atraksi lain adalah mengupas kelapa dengan
cara digigit, makan bara api, dan tusuk jarum. ( SUMBER Penulis : Her Suganda)
0 Response to "SEJARAH TRADISI DEBUS"
Posting Komentar